My Family

Inilah Keluarga Kecilku di Surabaya

Puisi Gus Mus

Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana

Ma Lii Habibun Siwa Muhammad

Aku Mencintai-Mu Tanpa Ku Tahu Siapa Diri-Mu

Tak Kan Terganti

Alunan Simfoni yang Sebenarnya Aku Tak Ingin Mendengarkan Lanjutannya

Thursday 18 December 2014

Cerpen Kerennya Cak Nun

1 comments

DI ZAWIYYAH SEBUAH MASJID

Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid.

Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.

"Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya," berkata Pak Kiai kepada santri pertama, "apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?"
"Agama," jawab santri pertama.
"Berapa jumlahnya?"
"Satu."
"Tidak dua atau tiga?"
"Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan."

**

Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, "Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?"
"Islam."
"Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?"
"Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda."
"Kenapa kau katakan demikian?"
"Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar Islam."
"Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?"
"Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia."

**
Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. "Allah mengajari Adam nama benda-benda," katanya, "bahasa apa yang digunakan?"
Dijawab oleh santri ketiga, "Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur'an."
"Bagaimana membuktikan hal itu?"
"Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal mereka buta sama sekali terhadap masa silam."
"Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?"
"Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah."
"Maksudmu, Nak?"
"Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur'an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil 'alamin, berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur'anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi."


Tuesday 9 December 2014

Keadilan Tingkat Tinggi

0 comments

Dalam ilmu logika, p implikasi q akan ekuivalen dengan ~q implikasi ~p. Contoh: "jika adik naik kelas, maka Ibu akan membelikannya sepatu". Kalimat tersebut akan ekuivalen dengan "Ibu tidak membelikan adik sepatu, berarti dia tidak naik kelas."

Berhubungan dengan logika di atas, ada yang menarik dari hadits "Man yuridillahu bihi khoiron yufaqqihhu fiddin". Barang siapa yang dikehendaki khoir (baik) maka Allah akan memahamkannya dalam agama. Tanpa memperhatikan konteks lebih dalam tentang "khoir" dan "faham dalam agama", kalam tersebut ekuivalen dengan "man lam yufaqqihhu fiddin lam yuridillahu bihi kohoiron". Barang siapa yang tidak difahamkan dalam agama maka Allah tidak menghendakinya khoir (baik).

Pemahaman pasarnya; berarti ada golongan yang dikehendaki Allah khoir, dan ada pula golongan yang tidak dikehendaki Allah khoir. Lebih jauhnya; ada yang dikehendaki Allah baik, adapula yang dikehendaki Allah buruk. Lebih jauh lagi; ada yang dikehendaki pahala, ada yang dikehendaki dosa. Lebih jauh lagi; ada yang dikehendaki mu'min, adapula yang dikehendaki kafir. Sedikit lebih jauh lagi; ada yang dikehendaki surga, adapula yang dikehendaki neraka.

Lebih parahnya lagi, jika Allah sudah menghendaki kafir, tak ada satupun yang mampu membuat menjadi mu'min. Contohnya Iblis. Iblis sudah dinash bahwa dia kafir, aba wastakbar wa kana minal kafirin. Kalu iblis ingin membatalkan ketuhanan Allah, mudah saja, tinggal dia berpindah menjadi mu'min maka akan batal Kalamullah. Namun apa daya, sekuat apapun tenaga kita mendakwahi iblis agar beriman, sampai kapanpun kita tak akan berhasil. Orang jawa menyebutnya "kalah sabdo", sudah terlanjur kalah sama Nash.

Wednesday 3 December 2014

Hidup Tak Melulu Tentang Surga dan Neraka

0 comments
Atas nama apapun atau siapapun
Kami yakin tiada yang pantas masuk ke surga Tuhan
Namun atas nama apapun atau siapapun pula
Kami yakin tiada yang kuat berada di neraka Tuhan
Maka tiada yang pantas menyatakan kebenaran itu di surga dan kesalahan di neraka
Karena kami yakin surga dan neraka urusan ridlo Tuhan
Penggalan puisi di atas ku tuliskan 2 taun yang lalu, tepat pada saat ulang tahun Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dua tahun berselang, hari ini aku pun masih setuju dengan tulisanku itu. Allah adalah raja diraja yang menguasai kehidupan. Setiap jengkal rel kehidupan ini tak kan pernah luput dari Qudrat dan Irodat-Nya. Semua kereta berjalan menurut relnya masing-masing yang telah ditataNya rapi. Begitulah kehidupan yang ku ibaratkan rel kereta.

Jika analogiku tentang kehidupan ini benar, maka tak ada satupun makhluk yang layak meminta neraka, apalagi mengharapkan surga.

Apapun yang kita kerjakan adalah karena Qudrat dan Irodat-Nya. Tak ada yang bisa kita banggakan sama sekali dari diri kita. Lantas, masih pantaskah kita meminta balasan?. Sudah selayaknya kita tak meminta imbalan pada Tuhan atas setiap "pekerjaan" dan "rencana"-Nya sendiri.

Tuesday 2 December 2014

Hidup Ini Ibarat Rel Kereta, Kawan

0 comments

Kalau aku boleh menganalogikan, hidup ini ibarat kereta dengan relnya. Setiap kereta berjalan di atas relnya masing-masing. Tidak ada kereta yang berjalan seenaknya sendiri keluar dari rel. Bahkan di setiap persimpangan, rel harus ditata dulu sebelum kereta melewatinya.

Semua telah diatur dengan teratur untuk menjalankan kereta dari satu tempat ke tempat yang lain.

Begitulah hidup. Tuhan adalah aktor di balik kehidupan ini. Ia maha merencanakan sekaligus maha menjalankan. Dengan kekuasaanNya (Qudrat), Ia mengatur semua yang telah Ia ciptakan. Tak ada satu pun yang bertindak seenaknya di luar perencanaanNya (Irodat). Begitu juga tak ada satu pun yang memiliki kuasa selain kuasaNya.

Friday 28 November 2014

Puisi Cantiknya Mas Ammar Abdillah

0 comments

Diri dalam sengketa
Antara pelita dan gulita
Selalu “min hâlin ila hâl”
“Bainal hudâ wadh-dhalâl”
Kadang linglung kadang lunglai
Kadang bingung kadang terbuai
Kadang menggantung kadang menggontai
Kadang bersambung kadang tak sampai
Oh … diri…
Hati, jiwa dan kalbu
Yang mana “aku”?
Tak tampak hitam, tak tampak putih
Semua abu-abu
Ku pakai rasa, nalarku meragu
Ku pakai nalar, rasaku mengganggu
Ku pegang ajaran, ku perlu teladan
Ku pegang buku, ku jadi kaku
Ku pegang tokoh, mereka tak kokoh
Ku pegang diri, ku masih mencari
Lalu … berlalu dan berlalu
Lalai, lupa dan makin terlalu
Kalau hanya aku, maka aku benalu
Kalau semua begitu, maka betapa malu

Tuesday 18 November 2014

Rindu Cinta-Nya

6 comments

Lewat hujan siang ini Tuhan membahasakan cintanya pada kota Kretek ini. Seakan rindu akan cinta Tuhannnya, rerumputan di lereng gunung Muria menengadah menyambut bulir-bulir hujan yang turun. Tak pernah sedikitpun terlintas di benak mereka tentang surga dan neraka, apalagi merindukan keduanya. Yang mereka tahu hanyalah merindukan siratan cinta sang pencipta.

Thursday 2 October 2014

Selamat Jalan Mutiara yang Terpendam

0 comments

Tidak bisa dipungkiri, Surabaya telah menghiasi kanvas kehidupanku dengan corak warnanya yang beragam. Lima puluh satu bulan berada di kota tersebut membuatku rindu akan kenangan yang kini hanya menjadi cerita tak berkata. Rasanya ingin sekali me'monumen'kan setiap detik dari empat tahun lebih tiga bulan itu, juga setiap jengkal dari ribuan langkah yang telah kaki ini tempuh. Namun, apalah arti semua itu bila hidupku masih saja tak bermanfaat bagi kehidupan.

Pada kesempatan nganggur di tengah-tengah kesibukan malam ini, melihat sepintas foto beliau yang diupload di group pondok membuat tanganku tak sanggup menolak untuk memonumenkan sosok Abah Yai yang pernah dengan segala teladannya mendidik lakuku.

Darussalam.. Adalah pondok kecil di salah satu sudut kota pahlawan, di pinggiran desa yang bernama Keputih, di belakang kampus besar yang bernama ITS. Pondok sederhana yang menjadi tempatku menghabiskan semester 3 sampai semester 6 kuliahku. Tidak banyak yang tahu memang. Pondok ini hanyalah pondok kecil (dulu, entah sekarang) dengan 2 kamar santri, 1 kamar ustadz, 1 ruang ngaji, dan 2 kamar mandi. Letaknya yang berada di dalam, lebih tepatnya di belakang ndalem, tanpa papan nama seperti pondok-pondok kebanyakan, membuat pondok ini semakin tak diketahui orang. Hanya cerita dari mulut ke mulut lah yang membuat keberadaan pondok ini terdeteksi orang.

Beliau lah Al-Maghfur Lah Abah Yai KH. Abdus Syakur bin Ibrahim yang menjadi magnet bagi segelintir orang-orang pilihan yang sempat nyantri di sana. "Orang se-Keputih, orang se-ITS itu pada kemana saja, ada orang seperti Abah Syakur kok dibiarkan saja", kata dosenku waktu itu. Memang, Abah Yai yang begitu itu seperti berlian yang disembunyikan. Tidak memiliki ratusan santri seperti Kyai kebanyakan. Tidak membutuhkan puluhan jama'ah pengajian seperti Kyai pada umumnya. Beliau seperti tidak mau nampak ke permukaan. Apakah seperti beliau ini yang dimaksud Ibnu Athoillah dalam Kitabnya, Al-Hikam, agar kita menanam diri dalam tanah kerendahan?

Monday 20 January 2014

Ibu, Aku Tidak Mau Jadi Pahlawan

2 comments

Satu cerita berikut membuat para orang tua harus berpikir ulang untuk memaksa putra-putrinya menjadi nomer satu di kelasnya. Cerpen yang menginspirasi.....

Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kenaikan kelas, anak perempuanku selalu mendapat ranking ke-23. Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan nomor ini. Sebagai orangtua, kami merasa panggilan ini kurang enak didengar, namun anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan panggilan ini.

Pada sebuah acara keluarga besar, kami berkumpul bersama di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang adalah tentang jagoan mereka masing-masing. Anak-anak ditanya apa cita-cita mereka kalau sudah besar? Ada yang menjawab jadi dokter, pilot, arsitek bahkan presiden. Semua orangpun bertepuk tangan. Anak perempuan kami terlihat sangat sibuk membantu anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya. Didesak orang banyak, akhirnya dia menjawab:..... "Saat aku dewasa, cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main". Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan apa cita-citanya yang kedua. Diapun menjawab: “Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga saling pandang tanpa tahu harus berkata apa. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.

Bagikan Halaman Ini

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More