My Family

Inilah Keluarga Kecilku di Surabaya

Puisi Gus Mus

Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana

Ma Lii Habibun Siwa Muhammad

Aku Mencintai-Mu Tanpa Ku Tahu Siapa Diri-Mu

Tak Kan Terganti

Alunan Simfoni yang Sebenarnya Aku Tak Ingin Mendengarkan Lanjutannya

Thursday 2 October 2014

Selamat Jalan Mutiara yang Terpendam

0 comments

Tidak bisa dipungkiri, Surabaya telah menghiasi kanvas kehidupanku dengan corak warnanya yang beragam. Lima puluh satu bulan berada di kota tersebut membuatku rindu akan kenangan yang kini hanya menjadi cerita tak berkata. Rasanya ingin sekali me'monumen'kan setiap detik dari empat tahun lebih tiga bulan itu, juga setiap jengkal dari ribuan langkah yang telah kaki ini tempuh. Namun, apalah arti semua itu bila hidupku masih saja tak bermanfaat bagi kehidupan.

Pada kesempatan nganggur di tengah-tengah kesibukan malam ini, melihat sepintas foto beliau yang diupload di group pondok membuat tanganku tak sanggup menolak untuk memonumenkan sosok Abah Yai yang pernah dengan segala teladannya mendidik lakuku.

Darussalam.. Adalah pondok kecil di salah satu sudut kota pahlawan, di pinggiran desa yang bernama Keputih, di belakang kampus besar yang bernama ITS. Pondok sederhana yang menjadi tempatku menghabiskan semester 3 sampai semester 6 kuliahku. Tidak banyak yang tahu memang. Pondok ini hanyalah pondok kecil (dulu, entah sekarang) dengan 2 kamar santri, 1 kamar ustadz, 1 ruang ngaji, dan 2 kamar mandi. Letaknya yang berada di dalam, lebih tepatnya di belakang ndalem, tanpa papan nama seperti pondok-pondok kebanyakan, membuat pondok ini semakin tak diketahui orang. Hanya cerita dari mulut ke mulut lah yang membuat keberadaan pondok ini terdeteksi orang.

Beliau lah Al-Maghfur Lah Abah Yai KH. Abdus Syakur bin Ibrahim yang menjadi magnet bagi segelintir orang-orang pilihan yang sempat nyantri di sana. "Orang se-Keputih, orang se-ITS itu pada kemana saja, ada orang seperti Abah Syakur kok dibiarkan saja", kata dosenku waktu itu. Memang, Abah Yai yang begitu itu seperti berlian yang disembunyikan. Tidak memiliki ratusan santri seperti Kyai kebanyakan. Tidak membutuhkan puluhan jama'ah pengajian seperti Kyai pada umumnya. Beliau seperti tidak mau nampak ke permukaan. Apakah seperti beliau ini yang dimaksud Ibnu Athoillah dalam Kitabnya, Al-Hikam, agar kita menanam diri dalam tanah kerendahan?

Bagikan Halaman Ini

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More