Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin pada mulanya datang ke Indonesia lewat para pedagang dari Gujarat. Bagaimana bisa Islam sebagai agama pendatang menjadi agama mayoritas? Apakah dikarenakan metode dakwah Islam yang keras seperti sekarang ini? Tentu saja tidak. Metode dakwah Islam sekarang yang keras (walaupun tidak keseluruhan, tapi itulah yang terlihat di mata dunia) malah menimbulkan banyak berkurangnya simpatisan Islam. Bukan menimbulkan citra baik di mata dunia malah memperburuk citra Islam.
Masih ingatkah
kita dengan metode-metode yang digunakan oleh para wali di tanah Jawa dulu? Sunan
Giri dengan Gending Asmaradana dan Pucung, Sunan Kalijaga dengan Wayang Kulit dan
Gamelan, Sunan Muria dengan Tembang Kinanthi dan Sinom, Sunan Kudus dengan
Menara dan Sapi, dan masih banyak yang lain. Lewat tradisi-tradisi masyarakat
Jawa yang memiliki berbagai kepercayaan seperti Hindu, Budha, Animisme, dan
Dinamisme, para wali dengan sangat perlahan-lahan memasukkan syari’at Islam ke
dalam tradisi yang sudah ada, sehingga masyarakat Jawa yang dulunya mayoritas
Hindu-Budha sekarang menjelma menjadi masyarakat Islam. Dengan memprioritaskan
toleransi yang sangat tinggi itulah para wali mampu merebut hati masyarakat
Jawa zaman dahulu, sehingga sampailah Islam pada generasi kita.
Masih ingatkah
kita dengan peran para Ulama’ era Kemerdekaan? Dengan kebijakan-kebijakan dan
fatwa-fatwa yang sangat menjunjung tinggi toleransi akhirnya Republik Indonesia
berhasil mempertahankan kesatuan Negara ini. Demi kesatuan Republik Indonesia,
Panitia Sembilan yang didalamnya terdapat K.H.A.Wahid Hasyim tidak memaksakan
untuk mempertahankan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” sebagai sila pertama Pancasila. Betapa mulianya
keputusan tersebut sehingga NKRI bisa utuh tidak terpecah belah satu sama lain.
Namun sekarang semua itu seolah hanya menjadi sejarah yang cukup ditulis di buku-buku pelajaran SD belaka. Semenjak meledaknya bom di Bali pada tahun 2002 kemudian diikuti peristiwa-peristiwa besar lainnya seperti tragedi runtuhnya gedung WTC (World Trade Center) dan gedung Pentagon di Amerika Serikat, pengeboman bus turis asing di Kairo, pengeboman kedubes AS di Kenya, dan sebagainya, citra Islam di mata dunia semakin menurun, bahkan kerap kali Islam mendapat cercaan sebagai agama teroris. Tentunya hal ini berdampak besar kepada Indonesia sebagai Negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia1), walaupun Indonesia bukanlah Negara Islam. Indonesia yang merupakan Negara kesatuan ini awalnya memang dibentuk sebagai pemersatu berbagai suku, ras, agama, dan budaya yang ada di nusantara, namun semakin kesini semakin menurun jika dibandingkan dengan Indonesia pada awal kemerdekaan. Menurunnya citra Islam di mata dunia sejalan dengan menurunnya citra Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Jika kita melihat realita yang terdapat di negeri tercinta ini, tidak bisa dipungkiri bahwa dari sekian banyak kejadian yang sering dikatakan “terorisme” tersebut pelakunya adalah orang-orang yang bersembunyi di balik topeng mulia agama Islam. Belum lagi ditambah segelintir ormas Islam yang sering melakukan sweeping dan bertindak seolah-olah dirinya sendiri yang benar. Mau tidak mau Islam sebagai agama “damai” malah mendapat citra sebaliknya.
Pondok pesantren, selain sebagai
institusi pendidikan Islam tertua, juga memiliki peranan penting dalam mengawal
kebudayaan Islam di tanah air. Lembaga pendidikan
ini (pondok pesantren) merupakan lembaga pendidikan hasil adopsi oleh para wali
dari kebudayaan Hindu dulu (Ahmad Adaby Darban, 2012). Akhir-akhir ini
diberitakan didapati beberapa pesantren konon mengajarkan dakwah yang kurang
toleran kepada santrinya, sehingga anggapan bahwa pesantren sebagai sarang
teroris terus muncuak ke permukaan. Anggapan yang hanya ditimbulkan segelintir pesantren
namun digeneralisir. Ketika kita melihat wajah pesantren yang sebenarnya, maka
kita akan tahu betapa pentingnya peranan pesantren dalam mengawal Kebudayaan
Islam yang terkenal sangat tinggi toleransinya, bukan malah sebaliknya.
Pondok pesantren sebagai
pencetak para tokoh masyarakat seharusnya mampu mengawal kebudayaan Islam yang
penuh toleransi. Jika satu pondok pesantren mampu mencetak setidaknya 5 santri
saja yang akan menjadi tokoh masyarakat, maka Indonesia ini semestinya akan
dipenuhi para alumni pondok pesantren yang memang berkompeten di bidang agama.
Apalagi jika para alumni pesantren tersebut mampu mewarnai lingkungannya
masing-masing dengan budaya kepesantrenannya.
Sebagai lembaga
pendidikan, pesantren sangat dekat dengan masyarakat. Salah satu unsur
pesantren yang biasa disebut Kyai merupakan figur yang paling dekat dengan
masyarakat, fatwa-fatwanya sangat dipatuhi oleh masyarakat. Atas dasar itulah
pondok pesantren seharusnya mampu membina dan mengawal kebudayaan masyarakat
dan budaya toleransi Islam yang dulu sangat kental yang sekarang sudah mulai
memudar.
Kuncinya terdapat
pada kedekatan antara masyarakat dengan pesantren. Posisi pesantren yang
strategis ini lah yang membuat peranan pesantren begitu dibutuhkan oleh Bangsa
ini. Semoga kedepan pesantren benar-benar tidak hanya menjadi sebuah lembaga
pendidikan Islam yang menetaskan santri-santri sebagai tokoh masyarakat saja,
tapi lebih dari itu pesantren mampu memerankan peranannya di tanah air ini.
1) www.sumber-berita.com/2011/08/10-negara-populasi
-muslim-terbanyak-di-dunia
No comments:
Post a Comment