Niat memang suatu hal yang
krusial. Saya sebut krusial karena semua perbuatan itu bergantung pada Niatnya.
Jika niatnya baik maka perbuatan itu pun menjadi baik, begitupun sebaliknya.
Oleh karena itu Sabda Nabi: “Innama Al A’malu Bin Niat” (Al Bukhori: 1,
Muslim: 1907). Karena saking krusialnya, maka kita bisa lihat di setiap amalan
syar’i (ibadah) selalu terdapat Niat dalam rukunnya. Karena begitu pentingnya
bahasan Niat ini, maka saya terpancing membuat artikel tentang “niat”.
Sebenarnya definisi Niat sendiri
itu apa sih?. Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), Niat menurut kamus
Al Munawwir adalah maksud,
tujuan, ketetapan hati, tekad, keinginan. Sedangkan secara istilah (terminologi), Niat menurut Kitab Fathul
Qorib adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya. Kalau guru saya
menjelaskannya dengan gampang, Niat itu krentege ati. Jelas, niat
tempatnya bukan di mulut tapi di hati. Jika hati niat melakukan A walaupun yang
diucapkan mulut adalah niat melakukan B maka itu tidak menjadi penghalang
batalnya niat, karena memang tempatnya niat adalah di hati. Jadi, hati
merupakan kunci dari semua pekerjaan. Sehingga benar “Idza sholuhat sholuhal jasadu kulluhu, wa idza fasadat fasadal jasadu kulluhu, ala wahiya Al Qolbu”.
Emmm.. Lalu apa yang mau dibahas? Hehe sebenarnya saya juga bingung apa yang mau dibahas orang sudah jelas begitu. Jujur saja artikel ini saya tulis sebagai hasil diskusi saya dengan teman saya tentang “niat yang diucapkan”. Sebenarnya saya juga bingung apa yang dipermasalahkan, hoho.. Tapi tidak apalah, hanya sekedar memberi sedikit gambaran saja. Begini kawan, niat itu tempatnya di hati, sedangkan kita tahu bahwa hati kita itu mudah terbolak-balik (karenanya kita dianjurkan membaca do’a “Allahumma Ya Muqollibal Qulub, Tsabbit Qolbi..”). Oleh karena alasan itulah maka para Ulama’ mengajarkan pengucapan niat. Tujuannya apa?, tujuannya adalah sebagai penuntun hati kita agar niat pada hati kita tidak salah. Jadi bukan mengambil definisi baru bahwa niat itu di mulut, bukan. Itulah sehingga ada pengucapan niat.
Emmm.. Lalu apa yang mau dibahas? Hehe sebenarnya saya juga bingung apa yang mau dibahas orang sudah jelas begitu. Jujur saja artikel ini saya tulis sebagai hasil diskusi saya dengan teman saya tentang “niat yang diucapkan”. Sebenarnya saya juga bingung apa yang dipermasalahkan, hoho.. Tapi tidak apalah, hanya sekedar memberi sedikit gambaran saja. Begini kawan, niat itu tempatnya di hati, sedangkan kita tahu bahwa hati kita itu mudah terbolak-balik (karenanya kita dianjurkan membaca do’a “Allahumma Ya Muqollibal Qulub, Tsabbit Qolbi..”). Oleh karena alasan itulah maka para Ulama’ mengajarkan pengucapan niat. Tujuannya apa?, tujuannya adalah sebagai penuntun hati kita agar niat pada hati kita tidak salah. Jadi bukan mengambil definisi baru bahwa niat itu di mulut, bukan. Itulah sehingga ada pengucapan niat.
Jelas bahwa “niat” dengan “pengucapan lafadz niat” itu terpisah, tidak
ada hubungannya (selain tujuan itu tadi). Gampangnya begini, misalkan kita
sebelum sholat saja (maaf) mengumpat-umpat dengan bahasa kotor kemudian kita
langsung takbir setelah umpatan itupun tidak menjadi penghalang sahnya sholat,
apalagi kalau hanya mengucapkan lafadz niat..
Lalu muncul lagi pertanyaan, lantas bagaimana dengan pengucapan niat
puasa Romadlon secara berjama’ah?. Hmm, sekarang berjama’ahnya yang jadi
masalah. Puasa Romadlon itu adalah ibadah wajib yang waktu niatnya pada malam
hari sampai waktu shubuh (sebelum pelaksanaan puasa) begitu setiap hari. Oleh
karena itulah, atas inisiasi para Ulama’, agar umat ini tidak pada lupa niat
puasa Romadlon maka setiap selesai tarawih langsung ada pengucapan lafadz niat
puasa secara berjama’ah, jika di mulut sudah terucap maka hati ini akan
mengiyakan kalau besok puasa. Begitulah niat, di hati letaknya, seandainya kita
tidak mengucapkan lafadz niat tapi kalau kita sahur saja tentu hati sudah
berniat kalau esok akan puasa.
Emm..Belum
selesai kawan, katanya Nabi tidak melakukan atau mengajarkan itu ya?, iya
mungkin, hehe.. Tanggapan saya begini, janganlah selalu menyamakan zaman kita
dengan zaman Nabi, jelas berbeda. Kalau kita bicara tentang “Nabi tidak
melakukan atau mengajarkan itu”, sama halnya kita menyamakan zaman kita dengan
zaman Nabi. Tidak kawan, tidak sama. Karena perbedaan zaman itulah maka ada
Ulama’, sang pewaris Nabi. Dari beliau-beliau lah hal-hal yang baru ini muncul,
bukan karena tidak patuh pada Nabi, tapi lebih kepada mengajarkan kepada umat.
Umat zaman sekarang jelas berbeda dengan umat zaman Nabi, jadi metode
penyampaian kepada umat pun harus berbeda. Oleh karena itulah, Ulama’ahli
tasawwuf Imam Al Ghozali dalam Kitab Minhajul ‘Abidin membagi klasifikasi bid’ah
menjadi 5: bid’ah wajib, bid’ah sunnah, bid’ah haram, bid’ah makruh, dan
bid’ah mubah. Coba bayangkan seandainya pembukuan Al Qur’an tidak
dilaksanakan, apa kita sebagai umat akhir zaman ini masih bisa menikmati
indahnya Kalamullah?, pada masa Khulafaurrosyidin saja sudah
banyak sekali hafidz yang gugur di medan perang. Itu juga sama,
Rasulullah tidak pernah melakukan atau mengajarkan pembukuan Al Qur’an. Begitu
juga tentang zakat mal, apakah kondisi zaman sekarang ini (tidak emas
dan perak lagi yang disimpan tapi rupiah, peternakan sudah bukan An’am
yang mendominasi, dll) masih bisa menggunakan dalil-dalil zakat yang ada?. Juga
bagaimana tentang pembagian harta warisan jika ahli warisnya adalah Jadd
ma’al Ikhwah?. Dan masih banyak lagi hal-hal baru yang butuh penyelesaian.
Begitulah, pembaruan-pembaruan yang dilakukan oleh para Ulama’ ini
adalah demi terciptanya Islam yang mudah dipahami oleh umat.
kalo diam sejenak sebelum sholat, meluruskan niat mau sholat apa, dsb..tapi ga pake baca niat yang bahasa arab. gitu gmn?
ReplyDeletekalo ada orang yg cuma hapal bahasa arabnya niat tapi dy g ngerti maksudnya juga gmn ya..?
mohon penjelasannya guru kecil..:D
cie blog baru.. :D
Deleteintinya niat itu kan di hati, walopun sebelum sholat tidak diam sejenak guna meluruskan niat mau sholat apa, dsb, tetapi ketika takbirotul ihrom hati niat melakukan sholat A, maka sah lah sholat A tsb..
kalo ada orang yg cuma hapal bahasa arabnya niat tapi dy g ngerti maksudnya ya gak berpengaruh, yang penting hatinya niat melakukan sholat A.contoh: si A mau sholat dluhur. sebelum sholat dia melafadzkan niat "usholli al maghriba", sementara hatinya niat sholat dluhur, maka sah lah sholat dluhurnya. Ato si B yang gak paham tentang arti dari lafadz niat, hendak sholat maghrib, dia melafadzkan "usholli al maghriba" sebelum sholat, faham gak faham arti kalimat tersebut tetapi kalo dia diniati dalam hati sholat maghrib maka sah lah sholat maghribnya. (tetapi kebangetan banget kalo gak faham arti niat yang bahasa arab itu, kan bahasa arabnya shubuh, dluhur, ashar, maghrib, isya' itu kan sama kayak bahasa indonesia dan bahasa jawa -_-)
nah, kalo penjelasane kaya' gitu, berarti niat tu yg penting dalam hati? gitu bukan?
Deleteyoi.. sebelum dijelaskan pun kan emang udah gitu. di definisinya itu lho.. -_-
Deletejudule kuk knp kudu diucapkan..? haha,,
DeleteHaha.. Artikel ini kan menjawab pertanyaan orang2 yg mengatakan "kenapa sih niat kudu diucapkan?", bukan menyatakan bahwa niat itu kudu diucapkan.
DeleteAnaloginya seperti ini: seandainya utk mengambil TA "A" seorang dosen meminta para mhsnya utk mengambil mata kuliah "A" yg sbenarnya itu makul pilihan. Namun ada si mhs yg memprmasalahkannya, maka ia ngomong ke teman2nya "kenapa sih kudu ngambil makul "A"?", nah brita itu nyampe kpada si dosen, lalu brkatalah si dosen, "saya lo g' mengharuskan ngambil makul "A", orang itu makul pilihan, saya kan hanya menyarankan, kenapa sih ko' kudu ngambil makul "A"?, agar bla bla bla, kalo dia sudah merasa mampun ngambil TA "A" tanpa ngambil makul "A" y monggo, saya kan cuma minta anak2 yg mau saja"... :)
owh, ngunu tho..:D
Delete