Ha Ana Dza


Puluhan tahun yang lalu, tepatnya pada hari Ahad Legi tanggal 11 Agustus 1991, juga bertepatan tanggal 1 Shofar 1412, Tuhan mengizinkanku menantang dunia. Rencana besar-Nya untuk seorang anak manusia dimulai pada hari itu. Seperti manusia-manusia yang lain, Tuhan menciptakanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Bertempat di kota Kudus, pada hari itu pula Bapakku mengenalkanku dengan Tuhan dan Rasul-Nya.  Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, lafadz itulah yang ku dengar dari Bapakku saat aku masih menangis takut menjalani kehidupan palsu ini. Ya, aku beragama Islam karena orang tuaku beragama Islam.

Ulir Rohwana, nama yang disematkan padaku ini membuatku dipanggil Wana di lingkungan rumahku, dan dipanggil Ulir di lingkungan yang lain. Nama hasil pemberian Kakekku ini sampai saat ini belum ku temukan artinya. Menyesal kenapa tidak kutanyakan arti nama ini dulu saat Kakekku masih sehat dan masih hidup. Yang jelas aku tahu bahwa Ulir Rohwana terbentuk dari dua kata; "Uli" dan "Ar-Rohwana". "Uli" berarti orang yang memiliki. Namun "Ar-Rohwana" sampai saat ini belum ku temukan artinya, bahkan di kamus Munawwir pun tidak ditemukan kata ini. Sedihnya hatiku.

Bersama kedua saudaraku; kakak dan adikku, aku tumbuh besar di rumah kakek dan nenek saat siang hari, dan pulang ke rumah orang tua saat malam hari. Tempat tinggal kakek dan nenek yang masih satu desa dengan rumah orang tuaku membuat aku dan saudaraku dititipkan kepada kakek dan nenek saat orang tuaku harus bekerja. Ya, sama-sama di Desa Ngemplak Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus, rumah orang tuaku berada di Gang 10, kakek-nenek dari bapak di Gang 9, dan kakek-nenek dari ibu di Gang 7. Besar di tiga kampung yang berbeda membuatku mengenal lebih banyak orang dibanding teman-teman seusiaku kala itu.

Seperti anak-anak di desaku pada umumnya, pendidikan yang pertama kali ku tempuh adalah TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur'an). Namun karena bandelnya diriku, aku sempat merasakan 3 TPQ yang berbeda di desaku, sehingga guru mengajiku lebih banyak dibanding teman-temanku. Praktis aktivitasku saat kecil hanya pergi ke TPQ saat sore, dan pura-pura ikut mengaji di Masjid sehabis Maghrib. Belajar di TPQ ini kujalani putus nyambung, sehingga saat sudah masuk SD pun beberapa kali aku masih belajar di TPQ.

Bertambahnya usia membuat orang tuaku hendak menyekolahkanku ke TK (Taman Kanak-kanak). Tetapi karena tempat sekolah TK terletak di depan rumah kakek-nenekku, aku tidak mau disekolahkan di TK dengan alasan sudah setiap hari mengetahui aktivitas TK. Bahkan sampai menangis karena tidak mau. Tidak kehabisan akal, orang tuaku menitipkanku di kelas 1 SDN 1 Ngemplak. Karena umurku masih kurang, maka aku merasakan 2 tahun duduk di kelas 1 SD. Sedih memang. Seiring dengan masuknya aku ke kelas 1 SD, maka aku harus sekolah juga ke Madrasah Diniyyah. Pada zaman tersebut kami sebagai anak-anak akan merasa malu jika sudah masuk SD tapi tidak sekolah di Madrasah Diniyyah. Sejak saat itulah selama 7 tahun aktivitasku belajar di SD ketika pagi dan di Madrasah Diniyyah ketika siang.

Tahun 2003 aku lulus dari SD dan melanjutkan ke Assalam. Bertempat di Kecamatan sebelah, aku menghabiskan umurku 6 tahun di sini. Segala ilmu yang ku dapat dari SD dan Madrasah Diniyyah diasah. Dulu aku hanya tahu bahwa 0 itu adalah bilangan yang tak memiliki jumlah, nol begitu saja. Tapi di sini aku tahu bahwa 0 adalah bilangan yang sangat kecil sekali, sehingga bilangan apapun bila dibaginya akan menghasilkan tak hingga. Dulu aku hanya tahu bahwa mubtada' dan khobar dii'robi rafa', sudah rafa' begitu saja. Tapi disini aku tahu bahwa khobar dii'robi rafa' karena mubtada', dan mubtada' dii'robi rafa' karena 'amil ma'nawi ibtida'. Enam tahun yang sangat singkat, mengesankan, dan mengenaskan. Haha..

Delapan belas tahun hidupku berkutat dan berputar-putar di daerah Kudus saja. Siapa yang menyangka kalau di tahun ke-19 aku akan pergi ke kota metropolitan. Benar, pada tahun 2009 kemarin aku harus melanjutkan patahan cabang kehidupanku di Surabaya. Di sini, di ITS Surabaya, mau tidak mau aku harus dekat lagi dengan Matematika. Cabang ilmu yang dulu pernah dekat denganku ketika SD ini seakan tidak mau pergi begitu saja. Okelah, aku tahu ia hanya menuruti perintah Tuhannya dan Tuhanku. Maka dengan segala kemampuanku aku hanya bisa berusaha dan berdoa agar nantinya dengan Matematika ini aku bisa berguna bagi Agama dan Bangsaku. Amiin..

Sama seperti anak-anak pada umumnya, waktu kecil dulu aku punya harapan, guruku biasa menyebutnya cita-cita. Dulu, ketika ada yang menanyakan hal ihwal cita-citaku, aku hanya bisa menjawab bahwa aku ingin menjadi guru. Tidak ada yang perlu dihebohkan dengan harapan kecilku. Guru dengan segala keilmuannya menurutku dulu adalah cita-cita yang paling pantas untuk ku gapai. Tidak ada harapan lebih di balik itu, sudah menjadi guru saja.

Namun, entah ini aneh atau tidak, hobiku adalah bermain sepak bola. Seperti jaka sembung yang biasa disebutkan orang-orang, mungkin inilah sisi tidak nyambungnya cita-cita dengan hobiku. Tak apalah, mungkin lebih tepat kalau menjadi guru olahraga, tentunya dengan pertimbangan bahwa badanku cukup atletis, Jiahahah. Dengan motto yang selalu ku pegang, "Jika di dunia ini masih ada satu orang saja yang bisa, maka aku pun pasti bisa", entah lewat hobi atau cita-citaku, akan ku abdikan diriku pada Bangsaku.

Indonesiaku, padamu aku berbakti...

No comments:

Post a Comment

Bagikan Halaman Ini

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More