My Family

Inilah Keluarga Kecilku di Surabaya

Puisi Gus Mus

Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana

Ma Lii Habibun Siwa Muhammad

Aku Mencintai-Mu Tanpa Ku Tahu Siapa Diri-Mu

Tak Kan Terganti

Alunan Simfoni yang Sebenarnya Aku Tak Ingin Mendengarkan Lanjutannya

Thursday 8 November 2012

Tak Terasa Aku Merindukanmu, Idolaku

2 comments

Entah kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali membuka folder Gus Dur di laptopku. Di tengah-tengah kegundahanku ngoding buat TA yang nggak nemu-nemu hidayah (hoho..) folder yang paling sering aku buka hanya 2; Sholawat Bib Syech dan Gus Dur. Folder Sholawat Bib Syech, jelas karena saya tidak bisa belajar dalam kondisi tenang maka lantunan-lantunan Sholawat Bib Syech inilah yang selalu menemaniku, sangat syahdu. Tapi folder Gus Dur?? Ya, setiap otakku bingung mau kemana lagi nggak nemu jalan buat nglanjutin codingan, folder inilah yang sering aku buka, entah kenapa. Padahal sudah sering sekali aku membaca biografi beliau, membaca lelucon-lelucon beliau, menonton pengajian beliau, mendengarkan cerita-cerita tentang beliau. Nampaknya aku memang tengah merindukan sosok-sosok seperti beliau dalam Bangsa ini.

Saat negara ini semakin diinjak-injak oleh politik tidak jelas ini, saat Bangsa ini tengah menantikan siapa saja bakal calon pemimpin negeri ini, saat itulah aku merindukan tokoh seperti beliau. Tak terasa sudah 3 tahun beliau meninggalkan Bangsa ini, meninggalkan orang-orang yang mengidolakannya, dan yang paling menyakitkan yaitu menggagalkan satu cita-citaku waktu kecil: salaman dengan beliau. Sejujurnya, air mata malam itu masih belum bisa terhapus dari pipiku. Memang tidak hanya aku yang masih merasakan kesedihan itu, Bangsa ini pun sejatinya masih sedih. Seperti kata Najwa Shihab berikut ini:

Thursday 4 October 2012

Puisi Mba' Ina Untuk Gus Dur

0 comments

Salah satu hal yang paling sering ku lakukan saat sedang gak ada kerjaan adalah membuka file-file tentang Gus Dur di laptop. Ada banyak tulisan maupun video di situ, hehe.. Dan salah satu video yang paling aku sukai adalah saat Mba' Ina membacakan puisi untuk ayahanda tercinta dengan diiringi genjrengan Ebiet G Ade. Puisi itu dibacakan dalam acara "Gitu Aja Kok Repot, In Memoriam Gus Dur 1940-2009" yang ditayangkan oleh salah satu TV swasta sepeninggal Gus Dur. Ya, setelah wafatnya Gus Dur ada banyak sekali tayangan-tanyangan televisi yang mengenang hidup beliau, termasuk salah satunya adalah tayangan ini.

Dalam acara tersebut hadir tiga putri Gus Dur; Mba' Nita, Mba' Yenny, dan Mda' Ina. Selain itu juga banyak teman-teman Gus Dur dan orang-orang yang pernah dekat dengan Gus Dur. Banyak sekali cerita-cerita yang muncul. Mulai dari cerita keseharian Gus Dur yang diceritakan oleh  ketiga putrinya serta Pak Mahfud MD, cerita zaman Gus Dur kuliah yang diceritakan oleh Gus Mus, cerita zaman Gus Dur menjabat presiden yang diceritakan oleh Pak Wimar dan Pak Adi Massardi (mantan Jubir Kepresidenan) serta Pak Wahyu (mantan ketua protokoler istana), dan cerita-cerita seru lain. Selain nam-nama tersebut, hadir juga dari kalangan seniman; seperti Aswendo, dari kalangan budayawan; ada Jaya Suprana, tokoh lintas agama; ada Romo Mudji dan Frans Magnis Suseno, dari kalangan penyiar dan reporter; Lita Soedarto, entertainer; seperti Inul, serta tidak ketinggalan tokoh intelektual; Masdar Farid dan Zuhairi Misrawi. Sangat seru cerita-cerita yang dibawakan oleh semuanya. Banyak kisah-kisah yang diungkapkan oleh para narasumber yang semuanya sangat sayang untuk tidak kita ketahui. Diantaranya adalah cerita saat Gus Dur "menipu" Gus Mus yang hendak berangkat kuliah ke kampus (di Al Azhar Kairo ketika itu) tapi malah berhenti di bioskop untuk nonton film, juga cerita-cerita lucu saat beliau menjabat sebagai presiden RI yang sangat sederhana.

Dari kesemuanya, menurut saya yang paling mengesankan adalah saat penutupan yang diisi oleh puisi yang dibacakan mba' Ina. Sayang dalam tayangan tersebut ada satu bait puisi yang terputus. Berikut adalah puisi yang sangat menyayat hati itu..

Memperingati 1000 Hari Wafatnya Guru Bangsa

2 comments

Tepat seminggu yang lalu ku ikuti kaki ini melangkah menuju impian kecilnya. Kala itu hari Kamis bertepatan dengan tanggal 27 September 2012. Terik matahari begitu menyengat saat aku keluar dari tempat dimana biasanya aku tinggal. Siang hari memang. Ketika itu kakiku mulai merealisasikan rencana yang sudah satu minggu sebelumnya dicatat. Dengan semangat yang sangat membuncah, ku lewati jalan Surabaya-Jombang dngan menaiki bis. Singkat cerita pukul 20.00 sampailah aku beserta penumpang bis lainnya di kotanya Ponari. Kanan kiri jalan sudah mulai terlihat suasana ramai kota Jombang. Memang, hari itu adalah 1000 hari wafatnya Al Maghfur Lah Gus Dur yang diperingati di Ciganjur dan di Makam beliau di Tebuireng. 

Sudah kuduga sebelumnya, jalanan Jombang menuju Tebuireng ditutup karena banyaknya pengunjung yang menyempatkan hadir dalam peringatan tersebut. Ya sudahlah, akhirnya sopir membelokkan ke jalan alternatif. Sebagai gantinya, aku harus turun dan melanjutkan perjanan dengan jalan kaki. Tidak hanya aku, ternyata dalam bis tersebut juga ada beberapa orang yang satu tujuan denganku. Akhirnya kami berjalan bersama. Tak disangka, ternyata di tengah perjalanan sebuah motor yang memiliki bak di belakangnya berhenti menghampiri kami. Alhamdulillah.. Kami diantarkan sampai pada keramaian pengunjung. Dari situ langsung kupacu kakiku untuk bergegas masuk ke dalam komplek pondok. Dengan berjejal-jejalan akhirnya aku berhasil masuk ke pondok, dan akhirnya juga bisa masuk ke komplek makam. Alhamdulillah lagi...:)

Sampai di situ, pidato ternyata sudah dimulai. Gus Sholah membuka semua pidato, kemudian dilanjutkan Gus Umar, Pak Tholhah, dan Mbah Maimun. Super sekali, keempat-empatnya menyampaikan isi pidato sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Saturday 11 August 2012

Ada Yang Janggal Dengan Niat Puasa Romadlon

0 comments

Bulan Romadlon adalah satu bulan yang sangat dinanti-nanti oleh semua muslim tiap tahun. Sangat banyak keutamaan di bulan ini dibanding dengan bulan lainnya. Namun di sini yang akan saya bahas bukan mengenai bulan Romadlonnya, tapi mengenai lafadz niat puasanya. Bukan mempermasalahkan “niat yang dilafadzkan”, tapi lebih pada koreksi nahwu pada pelafadzan niatnya. Mungkin mengenai “niat yang dilafadzkan” bisa dibaca di artikel saya yang lain. Khusus untuk artikel ini mari kita diskusikan tentang lafadz niat puasa terlepas dari itu bid’ah atau tidak. Tentu yang akan saya bahas adalah lafadz niat yang populer dan berkembang di masyarakat awam.

Sesungguhnya lafadz niat itu tidak ada patokannya karena niat bukan pada mulut tapi pada hati. Oleh karena itu pada artikel ini saya batasi niat yang akan dibahas, yaitu niat puasa yang biasa diucapkan secara berjama’ah setelah jama’ah sholat tarawih pada masyarakat awam. Sering saya (mungkin kita) jumpai lafadz niat puasa yang populer adalah sebagaimana yang tertulis di bawah ini:
نويتُ صوم غدٍ عن اداءِ فرضِ شهرِ رمضانَ هذهِ السنة فرضا لله تعالى

Kenapa Niat Kudu Diucapkan?

7 comments

Niat memang suatu hal yang krusial. Saya sebut krusial karena semua perbuatan itu bergantung pada Niatnya. Jika niatnya baik maka perbuatan itu pun menjadi baik, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu Sabda Nabi: “Innama Al A’malu Bin Niat” (Al Bukhori: 1, Muslim: 1907). Karena saking krusialnya, maka kita bisa lihat di setiap amalan syar’i (ibadah) selalu terdapat Niat dalam rukunnya. Karena begitu pentingnya bahasan Niat ini, maka saya terpancing membuat artikel tentang “niat”.

Sebenarnya definisi Niat sendiri itu apa sih?. Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), Niat menurut kamus Al Munawwir adalah maksud, tujuan, ketetapan hati, tekad, keinginan. Sedangkan secara istilah (terminologi), Niat menurut Kitab Fathul Qorib adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya. Kalau guru saya menjelaskannya dengan gampang, Niat itu krentege ati. Jelas, niat tempatnya bukan di mulut tapi di hati. Jika hati niat melakukan A walaupun yang diucapkan mulut adalah niat melakukan B maka itu tidak menjadi penghalang batalnya niat, karena memang tempatnya niat adalah di hati. Jadi, hati merupakan kunci dari semua pekerjaan. Sehingga benar “Idza sholuhat sholuhal jasadu kulluhu, wa idza fasadat fasadal jasadu kulluhu, ala wahiya Al Qolbu”.

Wednesday 18 July 2012

Liburanku Yang Malang

4 comments

Sudah tiga tahun memang aku berada di kota ini, kota penuh perjuangan, kota pahlawan. Sejak tiga tahun lalu, kulitku mulai terbiasa dengan cuaca kota panas ini, lidahku mulai terbiasa dengan makanan-makanan kota yang khas dengan lontong balapnya ini, mata indahku mulai terbiasa dengan pemandangan-pemandangan kota metropolitan ini, kaki mungilku mulai terbiasa dengan jalan-jalan kota ini, bahasaku mulai membiasakan dengan bahasa kota yang menjadi icon Jawa Timur ini, apapun dari hidupku nampaknya sudah terbiasa dengan kota ini. Kini memasuki tahun keempat ku berada di Surabaya. Insyaallah ini tahun terakhir ku berada di sini. Berbeda dengan tahhun-tahun sebelumnya, nampaknya tahun ini sedikit lebih ada feel. Entah kenapa.. Mungkin karena neuron-neuronku telah menyadari bahwa diriku di kota ini tinggal sebentar, dan parahnya belum ada yang bisa dibanggakan dari hidupku di kota pahlawan, di kampus perjuangan ini.

Tiga tahun masa perkuliahan ini berlalu, berarti enam kali liburan semester telah terlewati. Ya, di setiap akhir semester setelah UAS (Ujian Akhir Semester) selalu diikuti dengan liburan. Liburan untuk menghilangkan penat setelah selama satu semester bergulat dengan sekian mata kuliah. Liburan untuk memanfaatkan pengalaman yang telah diperoleh di bangku kuliah. Liburan untuk menyiapkan semester berikutnya. Istirahat dan persiapan, mungkin itu maksud dari adanya liburan di akhir semester.

Monday 18 June 2012

“Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”, kata Gus Mus

46 comments

KH. Musthofa Bisri atau biasa disapa Gus Mus merupakan salah satu dari sekian banyak  Ulama’ yang kita miliki. Gus adalah sapaan ala masyarakat pesantren kepada seorang putra Kyai. Ya, Gus Mus adalah putra dari KH. Bisri Musthofa (Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin Rembang).

Gus Mus, Kyai lulusan Universitas Al Azhar Cairo ini sekarang sedang disibukkan dengan menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin Rembang.  Selain dikenal sebagai seorang Kyai, Gus Mus juga dikenal sebagai seorang Budayawan, Penulis produktif, dan Seniman. “Cintamu”, “Ada Apa Dengan Kalian”, “Sajak Atas Nama”, dan “Gelap Berlapis-lapis”, adalah sekian dari banyak puisi karya beliau. Diantara puisi-puisi karya Gus Mus, “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana” adalah salah satu yang aku sukai. Rangkaian kata Bahasa Indonesia dengan menggunakan tata Bahasa Arab ala Gus Mus yang satu ini memiliki seni yang tinggi. Kritik pedas yang disampaikannya terdengar sangat indah karena dibalut dengan seni. Apalagi alunan musik yang syahdu dan logat khas bacaan Gus Mus yang semakin membuat keindahan puisi ini begitu lengkap. Selamat menikmati sajian kali ini......

“Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”

Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Tuesday 8 May 2012

Peranan Pesantren Sebagai Pengawal Kebudayaan Islam di Tanah Air

0 comments

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin pada mulanya datang ke Indonesia lewat para pedagang dari Gujarat. Bagaimana bisa Islam sebagai agama pendatang menjadi agama mayoritas? Apakah dikarenakan metode dakwah Islam yang keras seperti sekarang ini? Tentu saja tidak. Metode dakwah Islam sekarang yang keras (walaupun tidak keseluruhan, tapi itulah yang terlihat di mata dunia) malah menimbulkan banyak berkurangnya simpatisan Islam. Bukan menimbulkan citra baik di mata dunia malah memperburuk citra Islam.

Masih ingatkah kita dengan metode-metode yang digunakan oleh para wali di tanah Jawa dulu? Sunan Giri dengan Gending Asmaradana dan Pucung, Sunan Kalijaga dengan Wayang Kulit dan Gamelan, Sunan Muria dengan Tembang Kinanthi dan Sinom, Sunan Kudus dengan Menara dan Sapi, dan masih banyak yang lain. Lewat tradisi-tradisi masyarakat Jawa yang memiliki berbagai kepercayaan seperti Hindu, Budha, Animisme, dan Dinamisme, para wali dengan sangat perlahan-lahan memasukkan syari’at Islam ke dalam tradisi yang sudah ada, sehingga masyarakat Jawa yang dulunya mayoritas Hindu-Budha sekarang menjelma menjadi masyarakat Islam. Dengan memprioritaskan toleransi yang sangat tinggi itulah para wali mampu merebut hati masyarakat Jawa zaman dahulu, sehingga sampailah Islam pada generasi kita.

Masih ingatkah kita dengan peran para Ulama’ era Kemerdekaan? Dengan kebijakan-kebijakan dan fatwa-fatwa yang sangat menjunjung tinggi toleransi akhirnya Republik Indonesia berhasil mempertahankan kesatuan Negara ini. Demi kesatuan Republik Indonesia, Panitia Sembilan yang didalamnya terdapat K.H.A.Wahid Hasyim tidak memaksakan untuk mempertahankan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sebagai sila pertama Pancasila. Betapa mulianya keputusan tersebut sehingga NKRI bisa utuh tidak terpecah belah satu sama lain.

Bagikan Halaman Ini

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More