Karya ini tertulis satu tahun yang lalu, namun tersimpan rapi.:)
Qoola muhammadun huwa bnu maliki ahmadu robbillaha khoiri maliki, begitulah bunyi bait pertama Alfiyah ibnu Malik, suatu kitab yang kupelajari di Madrasahku dulu. Madrasah di tengah sawah dengan pemandangan seadanya itu selalu mengingatkanku pada teman-temanku yang gila-gila. Ya, gila menurutku, karena kami selalu bercanda setiap hari tanpa batas. Hehe, ingin ketawa sendiri jika mengingat-ingat canda tawa mereka. Enam tahun bersama membuat kami tahu karakter satu sama lain, sehingga terjalinlah tali-tali persahabatan yang dirajut dengan canda tawa /*lebay, hehe..*/. Suatu keakraban yang terjalin sangat erat, sehingga tidak ada batas dalam ejek-mengejek tanpa disertai kemarahan bagi yang diejek, hmm..
Namun jangan salah, di balik canda tawa yang bisa dikatakan keterlaluan itu, tidak serta merta kami melupakan tujuan keberadaan kami di Madrasah kami tercinta. Ya, tholabul ‘ilmi. Mulai dari jurumiyah sampai alfiyah kami lahap, hehe.. Tidak berhenti sampai di situ, prestasi-prestasipun berhasil ditorehkan orang-orang gila itu, walaupun aq g’ ikut berprestasi. Dengan gaya bercanda kami yang khas membuat aktivitas tholabul ‘ilmi selama 6 tahun menjadi tidak terasa. Hafalan-hafalanpun kami jalani dengan “ikhlas”, walaupun tidak sedikit yang belum khatam, hehe.. Banyak yang kami dapatkan selama 6 tahun itu, persahabatan, kekeluargaan, karakter, dan yang paling penting adalah ilmu. Terimakasih teman-temanku. Bangga bisa menjadi orang-orang hebat seperti mereka, walaupun malu juga punya teman seperti mereka, hahaha…/*bercanda*/. Sekarang kami sudah tidak bisa bercanda lagi seperti dulu kawan, jarak yang jauh telah merebut canda tawa itu. Harapanku agar kami bisa berkumpul dan gila-gilaan seperti dulu lagi ketika kami semua sudah menjadi orang-orang sukses di jalannya masing-masing, Amiiin….
Sekarang, di sini, di kota pahlawan ini, tidak lagi Alfiyah yang kupelajari kawan. Amat jauh dari angan-anganku waktu itu. Sekarang Aljabar yang kupelajari, walaupun namanya hampir mirip tapi mushonnifnya bukan Syekh Ibnu Malik, he.. Benar-benar bukan mimpiku untuk mempelajarinya, tapi aku tahu ini semua rencana Allah, tugasku hanya menjalaninya sebaik mungkin, dan yang paling penting adalah ikhlas, bukankah begitu kata Pak Mukhowifin menerangkan sifat Qudrat dan Irodat di Kifayatul ‘awam dulu?, ya, bebitulah kawan yang seharusnya terjadi. Kini aku bingung untuk memulai mengubah cita-cita kecilku.
Alfiyah dan Aljabar. Nama yang hampir mirip, namun isinya “sedikit” berbeda. Selain nama, ternyata ada juga kesamaan lain yang kudapatkan dari dua kata itu. Dulu ketika belajar Alfiyah di Madrasah tercinta kumiliki teman-teman dengan kegilaan stadium empat, sekarang kumiliki teman-teman pemikir yang kadang-kadang gila juga, hehe.. Kesamaannya, dua-duanya menjadi sahabat dan keluarga kecilku. Dulu ketika belajar Alfiyah memang tidak terasa kekeluargaan itu, hanya bercanda dan bercanda, tapi kini aku merasa bahwa sesungguhnya merekalah yang menemaniku selama 6 tahun, merekalah yang menjadikanku tegar dengan cobaan-cobaan yang ada sekarang, sekarang ketika aku sudah jauh dari mereka. Rasa itulah yang aku dapatkan ketika belajar Aljabar sekarang. Dengan latar belakang yang sama, kami membentuk keluarga kecil di kota besar ini. Ya, D’09..
D’09, keluarga kecil yang selalu menemaniku di negeri orang ini. Menghibur di kala sedih, merawat di kala sakit /*masih teringat di kala maag itu datang*/, dan sering kali mengejek di kala senang, haha.. Belajar bareng, berjuang bareng, bercanda bareng, dan banyak lagi yang kami jalani bareng, selain mandi tentunya, he.. Dua setengah tahun lagi aku akan bersama mereka, namun kekeluargaan ini semoga lebih dari itu, Amiin.. Senang bisa berada di sekeliling orang-orang hebat seperti kalian teman-temanku D’09. Tetep jadi yang terbaek ya, jangan lupakan kekeluargaan ini.
Ya, Alfiyah dan Aljabar.
No comments:
Post a Comment