Dalam ilmu logika, p implikasi q akan ekuivalen dengan ~q implikasi ~p. Contoh: "jika adik naik kelas, maka Ibu akan membelikannya sepatu". Kalimat tersebut akan ekuivalen dengan "Ibu tidak membelikan adik sepatu, berarti dia tidak naik kelas."
Berhubungan dengan logika di atas, ada yang menarik dari hadits "Man yuridillahu bihi khoiron yufaqqihhu fiddin". Barang siapa yang dikehendaki khoir (baik) maka Allah akan memahamkannya dalam agama. Tanpa memperhatikan konteks lebih dalam tentang "khoir" dan "faham dalam agama", kalam tersebut ekuivalen dengan "man lam yufaqqihhu fiddin lam yuridillahu bihi kohoiron". Barang siapa yang tidak difahamkan dalam agama maka Allah tidak menghendakinya khoir (baik).
Pemahaman pasarnya; berarti ada golongan yang dikehendaki Allah khoir, dan ada pula golongan yang tidak dikehendaki Allah khoir. Lebih jauhnya; ada yang dikehendaki Allah baik, adapula yang dikehendaki Allah buruk. Lebih jauh lagi; ada yang dikehendaki pahala, ada yang dikehendaki dosa. Lebih jauh lagi; ada yang dikehendaki mu'min, adapula yang dikehendaki kafir. Sedikit lebih jauh lagi; ada yang dikehendaki surga, adapula yang dikehendaki neraka.
Lebih parahnya lagi, jika Allah sudah menghendaki kafir, tak ada satupun yang mampu membuat menjadi mu'min. Contohnya Iblis. Iblis sudah dinash bahwa dia kafir, aba wastakbar wa kana minal kafirin. Kalu iblis ingin membatalkan ketuhanan Allah, mudah saja, tinggal dia berpindah menjadi mu'min maka akan batal Kalamullah. Namun apa daya, sekuat apapun tenaga kita mendakwahi iblis agar beriman, sampai kapanpun kita tak akan berhasil. Orang jawa menyebutnya "kalah sabdo", sudah terlanjur kalah sama Nash.
Allah menghendaki surga dan neraka. Beberapa teman bertanya tentang keadilan Allah sebagai Tuhan. Kenapa Allah membagi makhluknya menjadi seperti itu? Ada yang dikehendaki masuk surga, ada yang dikehendaki masuk neraka. Sebenarnya aku sendiri tidak memiliki kapabilitas berbicara tentang ini; mulai dari menganalogikan kehidupan dengan rel kereta, takdir, sampai surga dan neraka. Maka di sini aku tidak bermaksud apa-apa kecuali untuk memonumenkan pendapatku saja, syukur-syukur bisa bermanfaat untuk yang lain.
Dulu ketika aku masih SD kelas 1, kakakku sudah kelas 6. Setiap hari kami mendapat uang jajan. Aku mendapat uang jajan sebesar 200 rupiah, sementara kakakku 500 rupiah. Bagaimana keadilan orang tuaku? Rasa-rasanya semua sudah tahu bahwa adil itu tidak berarti sama rata. Benar, karena orang tuaku sudah tahu kebutuhanku dan kakakku, maka tersimpullah pembagian uang jajan seperti itu. Lalu, apa hubungannya dengan keadilan Tuhan? Tentu, adil tidak melulu harus sama rata. Adil tidak melulu semua masuk neraka. Allah sebagai Tuhan melihat seluruh kehidupan dan kematian ini ---bahkan sebelum kehidupan dan sesudah kematian, bahkan sebelum dan sesudah itu-- secara makro. Allah mengetahui apa-apa yang tidak diketahui makhluk.
Kita mengatakan tidak adil karena kita tidak tahu apa di balik apa, sedangkan Allah tahu bahkan sampai di baliknya lagi. Misalkan ada suatu kejadian di jalan raya; kita sudah benar-benar menaati aturan lalu lintas, jalan pun sudah pelan-pelan di pinggir. Namun tiba-tiba ada mobil entah dari mana datangnya menabrak kita, padahal ada banyak motor lain di sebelah kita yang bahkan tidak menaati aturan lalu lintas. Kenapa yang tertabrak kita? Karena Allah memandang secara makro, apa-apa yang tidak kita ketahui diketahui olehNya. Tertabraknya kita adalah kemungkinan paling baik dari sekian banyak kemungkinan kejadian. Maka, cobalah kita mulai berfikir positif; "oohh, mungkin seandainya yang tertabrak itu si A, malah akan menimbulkan korban lebih banyak", "ooh mungkin seandainya yang tertabrak si B, nanti malah begini begitu", dan "ooh"-"ooh" yang lain.
Lantas dimana letak keadilan Tuhan? Keadilan Tuhan levelnya sudah tinggi, kita tidak bisa melihat dimana letaknya. Yang jelas, setiap yang terjadi adalah yang terbaik dari sekian banyak kemungkinan. Semua yang terjadi adalah yang paling adil karena Allah tahu apa-apa di balik apa..
No comments:
Post a Comment