Monday, 2 March 2015

Terbanglah Tinggi Garudaku


Sejatinya hidup ini memang temporal. Tuhan menciptakan panas karena Dia juga menciptakan hujan. Begitu juga ia menciptakan senang karena sedih Ia ciptakan. Pun ada pertemuan karena adanya perpisahan. Panas dan hujan, senang dan sedih, berpisah dan bertemu, semua hanya masalah musim yang pasti akan berganti. Tak perlu risau apalagi galau, karena itulah siklus ilahiyah yang tentunya akan indah jika kita mampu memandangnya secara lebih luas.

Hidup telah mengutus sang waktu untuk menjemputmu ke pohon muda ini. Pohon yang menjagamu dari dingin dan terik beberapa tahun terakhir. Memang, hidup tidak menakdirkanmu pada pohon terbaik dari hutan ini, tapi setidaknya pohon inilah yang sejatinya kau butuhkan untuk belajar terbang – untuk belajar hidup.

Semenjak kau belum bisa terbang, pohon ini selalu memilihkan burung-burung lain untuk mengajarimu hidup. Tak jarang kau melihat elang singgah di pohon ini hanya sekedar untuk mengajarimu mencari makan sendiri. Tak sedikit pula cendrawasih dan merak yang datang hanya sekedar untuk mengajarimu memancarkan keindahan hatimu. Namun, terkadang juga kau melihat emprit yang melintas sekedar untuk mengajarimu mensyukuri nikmat Tuhanmu.

Seringkali kau mengeluh mengutuk pohon ini. Bahkan pernah ku dengar pada suatu senja kau menggerutu tak jelas. “Kenapa?”, tanyamu angkuh, “kenapa kau taruh aku di dahanmu yang paling tinggi? Aku ingin bebas, biarkanlah aku turun dari sini. Aku ingin belajar hidup dari manusia, biarlah aku turun”. Namun pohon ini tak pernah membalas, ia malah semakin meninggikan ranting-rantingnya, semakin menjauhkanmu dari tanah.

Hari ini, biarkanlah aku yang menyuarakan suara terpendamnya. “Nak, tetaplah kamu di situ. Aku sengaja menaruhmu di dahan yang paling tinggi dengan ranting-ranting yang menjulang itu agar tak ada harimau yang memangsamu, atau agar kamu tak pernah belajar dari tamaknya babi hutan. Tetaplah kamu di situ, agar burung-burung hebat saja yang kamu lihat untuk belajar hidup. Tak usahlah kamu belajar dari manusia, bukankah kamu tahu bahwa mereka itu lebih sesat dari hewan lain? Sudahlah..”. Begitulah, ia tak pernah memberi tahumu tentang itu semua.

Di dahan yang paling tinggi dari pohon yang telah dipilihkan Tuhan itulah kau setiap hari selama ini dilatih menatap mata sang mentari, agar kau tak perlu takut pada mata lain. Di situ pula lah kau dilatih bertahan dari ombang-ambing sang angin, agar hatimu tak mudah goyah oleh angin-angin kecil lain. Terkadang kau juga dilatih menahan derasnya hantaman hujan, agar kau tak gampang rapuh saat bertemu hujan-hujan lain.

Kini kau telah besar, garudaku. Dahulu kau tak pernah tahu apa-apa di balik apa. Maka kini rasa-rasanya sudah waktunya kau tahu, bahwa pada saat kau kesakitan karena elang mencengkram kepalamu itu ia sedang melindungimu dari tatapan kera hutan di sebrang ranting sana. Bahwa saat punggungmu berdarah karena paruh jalak mematukmu itu ia sedang membunuh lintah yang tengah menghisap darah punggungmu. Bahwa pada saat kau kepanasan karena ranting pohon ini meninggi itu ia sedang menjauhkanmu dari manusia-manusia yang tak punya hati yang ingin mengambilmu. Dan bahwa nelangsa-nelangsa lain yang kau rasakan itu selalu punya alasan untuk kebaikan hidupmu.

Garudaku, kini nampaknya kau sudah bisa terbang. Sepertinya kau juga sudah mampu bertahan hidup di langit sana. Dulu kau sempat mengatakan kepadaku bahwa kau ingin menantang bintang yang paling kecil itu. Katamu, bahwa bintang yang paling kecil itu adalah bintang yang paling jauh, dan kau ingin menantang bintang paling jauh itu. Terbanglah garudaku, terbanglah. Tantanglah bintang itu. Kelak kau akan tahu sendiri bahwa terkadang gemerlapnya bintang yang kau lihat itu adalah semu. Kau akan tahu bahwa bintang-bintang itu bisa jadi sebenarnya telah pudar dan hancur, dan yang tersisa adalah seberkas cahayanya yang baru saja sampai di sistem penglihatanmu setelah bertahun-tahun melewati ruang kosong angkasa.

Terbanglah, pelajarilah Tuhanmu. Masih ada banyak hal yang belum pernah diajarkan elang kepadamu, belum pernah dibisikkan merak ke telingamu, atau belum pernah ditunjukkan Tuhan di depan matamu. Nanti, bila kau telah berhasil menantang bintang-bintang di sana, kembalilah. Kabarilah aku bagaimana sejatinya angkasa itu. Kabarilah aku tentang langit yang sering disinggung Tuhanmu di dalam kitab yang sering dibaca para pewaris Nabi itu.

Kemarin, sebelum hari ini kau akan terbang untuk yang pertama kalinya, akar pohon ini mengatakan sesuatu padaku.  “Suruhlah ia sesekali mampir ke sini”, katanya sambil membenahi suara seraknya, “tak usahlah harus menunggu ia mampu menantang bintangnya. Sesekali singgahlah di ranting pohon untuk sekedar mengucapkan terimakasih pada elang dan yang lain”. Aku hanya tersenyum sambil berkicau di hatiku, “bilang saja kau tak tega ditinggalkannya, kau pasti akan merindukannya to?”. Ya, begitulah garudaku. Ada banyak kata yang tak bersuara, dan ada lebih banyak cinta yang tak berkata. Terkadang juga timbul gelak tanpa tawa, namun tak jarang pula lahir tangis tanpa air mata.

Sejatinya pohon ini akan bahagia jika kau mampu terbang dan hidup dari apa-apa yang telah diajarkannya. Terbanglah tinggi garudaku. Kepakkanlah kedua sayapmu selebar-lebarnya. Tebarkanlah senyummu kemanapun dan berikanlah cintamu pada apapun. Ingatlah, saat kelak kau berhadapan dengan gelap, tak usah kau umpat dia, cukup nyalakan lilin hatimu untuk menyingkapnya. Terbanglah!!

Sebelum kau terbang, ijinkan aku menyanyikan syair berbahasa Arab – bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa. Dengarkanlah...


--------------------------------------------------
Ku tulis dari hati, untukmu anak-anakku..

No comments:

Post a Comment

Bagikan Halaman Ini

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More