Sejatinya hidup ini memang temporal. Tuhan
menciptakan panas karena Dia juga menciptakan hujan. Begitu juga ia menciptakan
senang karena sedih Ia ciptakan. Pun ada pertemuan karena adanya perpisahan.
Panas dan hujan, senang dan sedih, berpisah dan bertemu, semua hanya masalah
musim yang pasti akan berganti. Tak perlu risau apalagi galau, karena itulah
siklus ilahiyah yang tentunya akan indah jika kita mampu memandangnya secara
lebih luas.
Hidup telah mengutus sang waktu untuk menjemputmu
ke pohon muda ini. Pohon yang menjagamu dari dingin dan terik beberapa tahun
terakhir. Memang, hidup tidak menakdirkanmu pada pohon terbaik dari hutan ini,
tapi setidaknya pohon inilah yang sejatinya kau butuhkan untuk belajar terbang
– untuk belajar hidup.
Semenjak kau belum bisa terbang, pohon ini
selalu memilihkan burung-burung lain untuk mengajarimu hidup. Tak jarang kau
melihat elang singgah di pohon ini hanya sekedar untuk mengajarimu mencari
makan sendiri. Tak sedikit pula cendrawasih dan merak yang datang hanya sekedar
untuk mengajarimu memancarkan keindahan hatimu. Namun, terkadang juga kau
melihat emprit yang melintas sekedar untuk mengajarimu mensyukuri nikmat
Tuhanmu.
Seringkali kau mengeluh mengutuk pohon ini.
Bahkan pernah ku dengar pada suatu senja kau menggerutu tak jelas. “Kenapa?”,
tanyamu angkuh, “kenapa kau taruh aku di dahanmu yang paling tinggi? Aku ingin
bebas, biarkanlah aku turun dari sini. Aku ingin belajar hidup dari manusia,
biarlah aku turun”. Namun pohon ini tak pernah membalas, ia malah semakin
meninggikan ranting-rantingnya, semakin menjauhkanmu dari tanah.
Hari ini, biarkanlah aku yang menyuarakan
suara terpendamnya. “Nak, tetaplah kamu di situ. Aku sengaja menaruhmu di dahan
yang paling tinggi dengan ranting-ranting yang menjulang itu agar tak ada
harimau yang memangsamu, atau agar kamu tak pernah belajar dari tamaknya babi
hutan. Tetaplah kamu di situ, agar burung-burung hebat saja yang kamu lihat
untuk belajar hidup. Tak usahlah kamu belajar dari manusia, bukankah kamu tahu
bahwa mereka itu lebih sesat dari hewan lain? Sudahlah..”. Begitulah, ia tak
pernah memberi tahumu tentang itu semua.
Di dahan yang paling tinggi dari pohon yang
telah dipilihkan Tuhan itulah kau setiap hari selama ini dilatih menatap mata
sang mentari, agar kau tak perlu takut pada mata lain. Di situ pula lah kau
dilatih bertahan dari ombang-ambing sang angin, agar hatimu tak mudah goyah
oleh angin-angin kecil lain. Terkadang kau juga dilatih menahan derasnya
hantaman hujan, agar kau tak gampang rapuh saat bertemu hujan-hujan lain.
Garudaku, kini nampaknya kau sudah bisa
terbang. Sepertinya kau juga sudah mampu bertahan hidup di langit sana. Dulu
kau sempat mengatakan kepadaku bahwa kau ingin menantang bintang yang paling
kecil itu. Katamu, bahwa bintang yang paling kecil itu adalah bintang yang
paling jauh, dan kau ingin menantang bintang paling jauh itu. Terbanglah
garudaku, terbanglah. Tantanglah bintang itu. Kelak kau akan tahu sendiri bahwa
terkadang gemerlapnya bintang yang kau lihat itu adalah semu. Kau akan tahu
bahwa bintang-bintang itu bisa jadi sebenarnya telah pudar dan hancur, dan yang
tersisa adalah seberkas cahayanya yang baru saja sampai di sistem penglihatanmu
setelah bertahun-tahun melewati ruang kosong angkasa.
Terbanglah, pelajarilah Tuhanmu. Masih ada
banyak hal yang belum pernah diajarkan elang kepadamu, belum pernah dibisikkan
merak ke telingamu, atau belum pernah ditunjukkan Tuhan di depan matamu. Nanti,
bila kau telah berhasil menantang bintang-bintang di sana, kembalilah.
Kabarilah aku bagaimana sejatinya angkasa itu. Kabarilah aku tentang langit
yang sering disinggung Tuhanmu di dalam kitab yang sering dibaca para pewaris
Nabi itu.
Kemarin, sebelum hari ini kau akan terbang
untuk yang pertama kalinya, akar pohon ini mengatakan sesuatu padaku. “Suruhlah ia sesekali mampir ke sini”, katanya
sambil membenahi suara seraknya, “tak usahlah harus menunggu ia mampu menantang
bintangnya. Sesekali singgahlah di ranting pohon untuk sekedar mengucapkan
terimakasih pada elang dan yang lain”. Aku hanya tersenyum sambil berkicau di
hatiku, “bilang saja kau tak tega ditinggalkannya, kau pasti akan merindukannya
to?”. Ya, begitulah garudaku. Ada banyak kata yang tak bersuara, dan ada
lebih banyak cinta yang tak berkata. Terkadang juga timbul gelak tanpa tawa,
namun tak jarang pula lahir tangis tanpa air mata.
Sejatinya pohon ini akan bahagia jika kau
mampu terbang dan hidup dari apa-apa yang telah diajarkannya. Terbanglah tinggi
garudaku. Kepakkanlah kedua sayapmu selebar-lebarnya. Tebarkanlah senyummu
kemanapun dan berikanlah cintamu pada apapun. Ingatlah, saat kelak kau
berhadapan dengan gelap, tak usah kau umpat dia, cukup nyalakan lilin hatimu
untuk menyingkapnya. Terbanglah!!
--------------------------------------------------
Ku tulis dari hati, untukmu anak-anakku..
No comments:
Post a Comment