Sunday 27 December 2015

Chaos Theory dan Kompleksitas Keadilan Tuhan


Belum lama memang saya mengenal Chaos Theory. Teori ini baru saya dengar dan saya kenal pertama kali dari teman satu kelompok pada mata kuliah Pemodelan, semester 5. Pada mulanya telinga saya biasa saja, seperti halnya saat pertama kali mendengar teori-teori aneh yang telah dinamai oleh penemunya masing-masing. Namun, ketika teman saya tadi mengatakan bahwa ada istilah unik dalam Chaos Theory yang menghasilkan penemuan baru, bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil mampu menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian, ada rasa penasaran yang menggerakkan jemari cantik saya untuk mencari tahu teori ini. Rasa penasaran tersebut pada akhirnya membuat saya tahu tentang istilah Butterfly Effect dalam Chaos Theory yang dikenalkan oleh Edward Norton Lorenz. Ya, Lorenz, mirip dengan penjahat yang memainkan kekacauan pada Chaos; film dengan alur cerita yang sangat cantik.

Dalam Matematika, sebuah sistem dikatakan chaos apabila memenuhi tiga syarat; sensitif pada kondisi awal, memiliki sifat pencampuran topologis, serta memiliki orbit periodik yang padat. Butterfly Effect adalah istilah dalam Chaos Theory yang berhubungan dengan ketergantungfan yang peka pada kondisi awal, dimana perubahan kecil pada suatu tempat dalam sistem non-linear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam keadaan kemudian.

Lorenz sendiri adalah seorang peneliti meteorologi yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang Matematika dan Meteorologi dari MIT. Dalam penelitiannya untuk meramalkan kondisi cuaca, Lorenz menyelesaikan 12 persamaan differensial non-linear dengan komputer. Pada mulanya, ia memasukkan enam angka di belakang koma sebagai input sistem. Kemudian, untuk menghemat waktu processing, Lorenz hanya memasukkan tiga angka di belakang koma. Mungkin, pikirnya kala itu, sangat kecil sekali -sudah sangat, masih diimbuhi sekali- pengaruhnya 0,0009 bagi perhitungan matematis. Tapi ternyata, output dari sistem yang dibuatnya sangat mengagetkan. Dibuangnya 3 bilangan di belakang koma dari nilai input sebelumnya memberikan hasil yang berbeda sama sekali dengan hasil simulasi sebelumnya.

Sudahlah, kita lepaskan sejenak kerumitan perhitungan matematisnya, kita kembali kepada istilah cantik Butterfly Effect. Lorenz sengaja memilih istilah tersebut memang agar nampak puitis saja, selain dulu memang belum musimnya tomcat. Istilah Butterfly Effect lahir berawal dari kagetnya Lorenz pada percobaan membuang 3 bilangan di belakang koma dalam perhitungan tadi. Dari situ ia mulai sadar bahwa sekecil apapun input yang masuk sangat berpengaruh pada output. Sehingga, muncullah pertanyaan Does the flap of a butterfly's wings in Brazil set off a tornado in Texas?; Apakah kepakan sayap seekor kupu-kupu di Brazil (mampu) menyulut angin tornado di Texas?. Secara teori, jawabannya mampu.

Rasa penasaran saya pada teori ini bukan terletak pada -meminjam istilah Vicky Prasetyo- puitisasi penamaannya, melainkan pada (lagi-lagi) keterbuktian firman Tuhan. Dalam salah satu kitab yang diyakini sebagian besar manusia sebagai kitab samawi (kitab yang turun dari langit), Tuhan berfirman dalam bahasa Arab: fa man ya'mal mitsqola dzarrotin khoiron yarohu, wa man ya'mal mitsqola dzarrotin syarron yarohu. Kalau boleh saya memahaminya secara singkat, Tuhan ingin mengatakan bahwa apapun (sekecil apapun) yang terjadi pasti berbalas. Walaupun, memang, kalau kita mengartikan kalimat bahasa Arab tersebut tentu konteks yang dipandang Tuhan ketika itu adalah manusia (dan makhluk yang bisa disebut dengan kata "man" dalam bahasa Arab). Tetapi boleh dong kalau saya menggeneralisasi, toh semuanya juga Tuhan yang mengerjakan.

Jika segala sesuatunya telah direncanakan oleh Tuhan, sedangkan Tuhan (dan Lorenz) juga telah menjamin bahwa segalanya pasti berbalas (berkonsekuensi), maka saya bisa membayangkan betapa rumitnya kinerja alam semesta yang sedemikian luasnya. Bayangkan saja, untuk "melaksanakan" satu rencananya saja, Tuhan terlebih dahulu harus menghubungkan kepakan sayap kupu-kupu di hutan Brazil dengan input-input lain, yang kemudian berproses menjadi tornado di Texas. Itupun, dalam perhitungan matematis, input-input tersebut harus pada tempat dan waktu yang tepat.

Dengan alur yang berbalik, saya akan bisa menangkap maksud Tuhan bahwa dibalik kejadian -dari hal yang paling kecil- jatuhnya daun mangga di depan rumah saya pada pukul 7 tadi pagi adalah salah satu input untuk sebuah output yang telah ditentukan Tuhan. Oh ya, dan jangan lupa, output itu juga adalah salah satu input dari output lain yang dikehendaki Tuhan. Begitu seterusnya. Itu baru kejadian jatuhnya satu daun mangga (milik) saya, lo. Tinggal kita bayangkan saja kalau semua kejadian pasti memiliki konsekuensi. Rumit, bukan? Memang rumit. Itulah kenapa tidak semua bisa menjadi Tuhan. Kalau meminjam istilahnya Kyai Ubeyd, hanya Tuhan yang pantas menjadi Tuhan.

Kalau kita ingin membayangkan yang lebih wow lagi, cobalah kita tarik sudut pandang kita ke luar angkasa, tidak usah jauh-jauh, di Galaksi Bimasakti saja. Bayangkan kita sedang mengamati Matahari, Merkurius, Venus, Bumi, komet Halley, asteroid, dan semua yang ada di ruang angkasa ini. Merkurius kita gerakkan pada orbitnya dengan kecepatan sekian, Venus dengan kecepatan sepertiganya kecepatan Merkurius, dan lain sebagainya. Apakah kita mampu menjamin semua benda yang ada di hadapan kita ini tidak akan bertabrakan dahsyat? Boro-boro menjamin, sampai pada Jupiter saja kita akan bingung bagaimana mengatur gerak ke-67 satelit miliknya itu. Namun, kawan, Tuhan memiliki perhitungan matematis yang saaaaangat matang, terbukti sudah ber-milyar-milyar tahun galaksi yang kita tempati ini berjalan dengan manisnya. Input-input yang Dia rancang untuk menghasilkan output-output yang selanjutnya juga akan menjadi input-input bagi output-output lain (byuh ribetnya) benar-benar seolah-olah telah melalui perhitungan yang sangat canggih.
Gambar ini diambil dari Google. Bayangkan saja.

Tentunya, sebagaimana namaNya: Rahman Rahim, Tuhan melakukan perhitungan yang amat fantastis ini adalah dengan dasar kasih sayang. Tidak mungkin Tuhan memiliki sifat dendam, misalnya, wis menuso tak delehe bumi ae cek bumi cepet rusak timbang planet liyo. Untuk apa? toh semua ini milikNya. Begitu juga dengan Texas, untuk apa Tuhan mengirimkan tornado ke Texas? Tentu bukan sekedar untuk menghancurkannya, kawan. Pasti karena "tornado Texas" merupakan salah satu input yang dibutuhkan Tuhan untuk membuat output yang berdasar atas kasih sayang tadi.

Jadi, tentu tidak relevan apabila ada pertanyaan "Kenapa manusia tidak ditempatkan di Jupiter saja? kan Jupiter lebih luas, mampu menampung manusia lebih banyak. Kalau tentang iklim dan kondisi, bukannya Tuhan mampu membuat apapun yang ada di bumi agar juga terjadi di Jupiter?".

Tetapi, apabila ada orang yang masih menanyakan keadilan Tuhan, jawab saja, bahwa semuanya telah dihitung secara canggih oleh Tuhan dengan pendekatan kasih sayang yang amat fantastis.

Maka, sudah selayaknya kita serahkan semua pada perhitungan Tuhan. Wallahu a'lamu bish_showab.

Ada catatan penting dari saya. Walaupun hidup ini nampaknya -lagi-lagi meminjam istilah Vicky Prasetyo- kausalistik, jangan pernah kamu persempit kuasa Tuhan. Tuhan mampu menghasilkan output kenyang tanpa harus disertai input makan. Tuhan mampu menghadirkan tornado di Texas, tanpa harus ada kupu-kupu atau tomcat di Brazil.

No comments:

Post a Comment

Bagikan Halaman Ini

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More