Semenjak hari pernikahanku dan istri, hari-hari berjalan sebagaimana seharusnya berjalan. Segalanya berjalan seperti angin yang setiap saat memang harus bergerak menuruti titah Tuhannya. Bahkan untuk sekedar memikirkan merencanakan segala sesuatunya setelah pernikahan saja, kami belum melakukannya. Hingga tiba pada saatnya aku harus mengikuti arah angin ke ibukota.
Ini adalah perantauan kedua dari kota yang telah menempa hidupku. Namun, kali ini berbeda, jasadku telah menjadi dua. Aku harus memikirkan keduanya.
Hari demi hari ku jalani biasa saja, sama seperti sebelum menikah. Hanya satu yang berbeda: istriku. Istriku adalah aku dalam wujud yang lain. Istriku penuh perencanaan. Dia terbiasa mencatat daftar kegiatan apa saja yang harus dilakukannya. Sama sekali berbeda denganku. Namun, aku tahu, dia memang dikirim Tuhannya untuk melengkapi segala yang tak ada padaku.
Hari-hari pertama di Jakarta adalah hari-hari pertama kami setelah menikah. Setiap malam, sepulang kerja, aku selalu bercerita kepada istriku tentang apa saja. Tentang konsep takdir, tentang implementasi cinta kepada apa saja, tentang kepasrahan total, dan tentang Matematika tentunya. Begitupun dia. Dia menceritakan apa saja. Bukan untuk menyamakan perbedaan kami, tetapi untuk memaklumi perbedaan.
Kami saling belajar satu sama lain. Ada banyak hal yang ku dapatkan darinya, dan ada banyak hal yang telah ku ajarkan padanya. Setiap hari ku pinta dia memberi makan kucing tetangga, agar dia belajar tentang mencintai apa saja. Ku larang dia membunuh nyamuk dan semut yang ada di kamar kami, agar dia belajar tentang selesai pada diri sendiri: tak perlu marah kepada apa saja, tak perlu sedih karena apa saja. Begitupun dia mengajariku. Dia selalu mencatatkan anggaran pendapatan dan belanja keluarga, agar aku belajar hati-hati. Dia membuatkan jadwal kegiatanku, agar aku belajar disiplin. Tak jarang juga kami saling belajar tentang fiqih, tauhid, nahwu, matematika, fisika, sampai belajar memasak.
Ramadan kali ini adalah ramadan pertama kami sebagai suami-istri. Kami membuat program ngaji ramadan. Jauh-jauh hari sudah kami siapkan. Kami mengaji 2 kitab pada ramadan kali ini. Yang pertama adalah Faroidus Saniyyah Wad Durorul Bahiyyah. Kami menargetkan untuk mengkhatamkan kitab ini selama ramadan, namun ternyata target kami meleset, banyak kerjaan yang membuatku harus lembur. Kitab yang kedua adalah Bulughul Marom. Karena ini kitab tebal, maka tidak ada target untuknya, sesampainya saja.
Ada cerita menarik pada ramadan kali ini. Istriku bingung dalam hal masak memasak. Dia sampai harus mencatat resep menu aneka masakan dari internet, bertanya kesana kemari, hanya ingin membuat puasa suaminya seperti puasanya suami-suami orang lain: sahur enak buka enak. Aku biarkan saja, sampai akhirnya dia kehabisan resep dan bercerita tentang kebingungannya itu. Aku tertawa saja. Ku katakan padanya, "Suamimu ini bisa makan sahur dan buka saja sudah lumayan. Biasanya malah jarang sahur dan jarang buka". "Seperti baru pertama puasa saja", ku hibur dia. Dia lega, terbebas dari kegalauannya sendiri, dan aku pun lanjut youtuban.
Aku melihat diriku dalam diri istriku, diriku dalam wujud yang lain. Semoga ramadan tahun depan, Tuhan telah mengirimkan kami keturunan, agar aku bisa melihat diriku dalam wujud yang lain lagi.
Argo Muria Lebaran, 29 Ramadan 1438
No comments:
Post a Comment